CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS »

Sabtu, 17 Januari 2009

Belajar Mencintai Seseorang Yg Tidak Sempurna Dgn Cara Yg Sempurna

Ketika kita bertemu orang yang tepat untuk dicintai, ketika kita berada di tempat pada saat yang tepat, itulah kesempatan. Ketika kita bertemu dengan seseorang yang membuat kita tertarik, itu bukan pilihan, melainkan kesempatan. Bertemu dalam suatu peristiwa bukanlah pilihan, itupun juga kesempatan.


Kesempatan dan pilihan adalah molekuler yang lekat dan terkadang penuh ambiguitas. Namun, yang pasti kita harus menggunakan kesempatan yang ada untuk melakukan sebuah pilihan terbaik untuk hidup kita dan hidup orang-orang yang kita sayangi....
Bila kita memutuskan untuk mencintai orang tersebut, bahkan dengan segala kekurangannya, itu bukanlah kesempatan, melainkan pilihan. Ketika kita memilih bersama dengan seseorang apapun yang terjadi, Itupun adalah pilihan. Bahkan ketika kita menyadari bahwa masih banyak orang lain yang lebih menarik, lebih pandai, lebih kaya daripada pasanganmu saat ini sedangkan kamu tetap memilih untuk mencintainya, Itulah pilihan.


Allah menciptakan berbagai macam pilihan untuk mencapai masa depan. Allah memberikan banyak jalan untuk kita lewati. Aku jadi teringat ketika mengikuti serial drama Korea berjudul Memories of Bali. Sang tokoh utama mengatakan bahwa “Tuhan memberikan banyak cabang jalan untuk kita lewati, semuanya mempunyai konsekuensi masing-masing. Namun, hanya ada satu jalan yang harus berani kita pilih untuk menuju pintu kebahagiaan”. Indeed that’s amazing words to inspiring me. Kata-kata itu udah terskema secara otomatis dalam belahan otakku sejak saat itu. Yach, pilihan yang baik adalah pilihan yang kita yakini akan membawa kita pada kebaikan, walau sebesar apapun rintangannya. Setuju gak kalian??!


Ada lagi, aku pun belajar pada seorang adik angkatanku, Elektro 2008. Ia mengatakan bahwa jodoh itu pun pilihan. Ehhmm... cukup menarik untuk aku tanyakan lebih lanjut padanya. Allah tidak menetapkan jodoh kita berdasarkan nama, misal jodoh Afry adalah Agus, jodoh Intan adalah Toni, dsb. Allah hanya memberikan dua alternatif, kita berjodoh dengan pilihan kita atau tidak. Di sinilah keyakinan yang amat sangat dalam kita pergunakan, memang sedikit intuitif, tapi memang itulah yang terjadi. Kayakinan yang kita minta pada Allah akan Ia tanamkan pelan namun mengakar kuat dalam relung hati kita. Tenang saja, meskipun aliran keyakinan itu merambat lirih, tapi aku yakin kita dapat merasakan getarannya. Itulah misteri jodoh, semuanya memang perlu persiapan. Who knows about our future? Nobody. Tapi, yakinlah satu hal bahwa masa depanmu terlihat dari apa yang engkau lakukan hari ini. Idealis dan realistis, itulah manusia, namun di dalamnya terdapat sebuah lorong solusi yang harus kita cari. Uuhhhmmmmmmm.............


Perasaan cinta, simpatik, tertarik, datang bagai kesempatan pada kita. Tetapi, cinta sejati yang abadi adalah pilihan. Pilihan yang kita lakukan. Berbicara tentang pasangan jiwa, ada suatu kutipan dari film yang mungkin sangat tepat: "Nasib membawa kita bersama, tetapi tetap bergantung pada kita bagaimana membuat semuanya berhasil." That’s right??! Any comment for this statement? Pasangan jiwa bisa benar-benar ada. Dan bahkan sangat mungkin ada seseorang yang diciptakan hanya untukmu. Tetapi, tetap berpulang padamu untuk melakukan pilihan apakah engkau ingin melakukan sesuatu untuk mendapatkannya atau... cukuplah berdiam diri menantinya datang padamu. Kita mungkin kebetulan bertemu pasangan jiwa kita, tetapi mencintai dan tetap bersama pasangan jiwa kita, adalah pilihan yang harus kita lakukan. Kita ada di dunia bukan untuk mencari seseorang yang sempurna untuk dicintai TETAPI untuk belajar mencintai orang yang tidak sempurna dengan cara yang sempurna. Itulah seharusnya .... ^-^

5 comment:

Fauziah Nurlitasari mengatakan...

Tp kpn qt tau bahwa orang itu adl org yg tpat utk qt cintai? apakah tdk ad pilihan bahwa ini adalah sebuah ujian yg mnurutku sngat berat? ah, aku lelah dg smua itu, hnya kepalsuan yg ada

sunny_morning mengatakan...

dear, ma frend..

mungkin kita tidak akan pernah tahu sebelum kita "berani"... berani membuat keputusan untuk memilihnya. bahkan fa, terkadang kita pun masih terlalu takut untuk meyakini perasaaan kita dengan berbagai alasan idealis...

ujian?? bisa saja, tapi menurutku sih, kita bisa kok merasakan dia ujian buat kita atau bukan. intinya kamu yakin, yang Allah datangkan saat ini adalah calon kita atau hanya ujian.

uhhmmm... coba gimana dengan teman2 yang lain yaa???? bingung juga euuyyy....

Hendro Blog mengatakan...

mm.....menarik apa yang disampaikan......
namun....ada satu pertanyaan.....????
apakah dengan keterpaksaan yang harus diterima.....
apakah pilihan itu tidak terlalu menyakitkan....????

sunny_morning mengatakan...

memangnya pilihan itu selalu jatuhnya menyenangkan??? nope, aku pikir tidak selalu Hendro ...

percaya gak sepahit apapun pilihan yang kita ambil saat ini, itu adalah jalan yang Allah berikan untuk kebaikan kita di masa yang akan datang. kuncinya adalah keyakinan. faith. itu aja kok.

belum puas??!! kita pikir yuk bareng2, keterpaksaan yang kita ambil itu akan mempengaruhi kehidupan kita selanjutnya jika kita tidak percaya itu adalah pilihan terbaik. meskipun dia memilihnya dengan beribu keterpaksaan ... aku yakin jika ada setitik pikiran positif menggantung di kognitifnya maka semuanya kan berubah jadi indah. bahkan kita akan bersyukur setelahnya..

oke Bozz... keep be positive thinker ajah ya... ^^

ArdiE mengatakan...

Mmm... kk merasa perlu berbagi kisah 'Surat Cinta Minimalis' dari blog seorang teman:

Setiap kali ada teman yang mau menikah, saya selalu mengajukan pertanyaan yang sama: “Kenapa kamu memilih dia sebagai suamimu (atau istrimu)?” Jawabannya sangat beragam. Dari mulai jawaban karena Allah, hingga jawaban duniawi (cakep atau tajir, manusiawilah).

Tapi ada satu jawaban yang sangat berkesan di hati saya. Hingga detik ini, saya masih ingat setiap detail percakapannya. Jawaban salah seorang teman yang baru saja menikah. Proses menuju pernikahannya sungguh ajaib. Mereka hanya berkenalan dua bulan. Lalu memutuskan menikah. Persiapan pernikahan hanya dilakukan dalam waktu sebulan saja. Kalau dia seorang akhwat, saya tidak akan heran. Proses pernikahan seperti ini sudah lazim. Dia bukanlah akhwat, sama seperti saya. Satu hal yang pasti, dia tipe wanita yang sangat berhati-hati dalam memilih suami. Trauma dikhianati lelaki, membuat dirinya sulit untuk membuka diri.

Ketika dia memberitahu akan menikah, saya tidak menanggapi dengan serius. Mereka berdua baru kenal sebulan. Tapi saya berdoa, semoga ucapannya menjadi kenyataan. Saya tidak ingin melihatnya menangis lagi. Sebulan kemudian dia menemui saya. Dia menyebutkan tanggal pernikahannya. Serta memohon saya untuk cuti agar bisa menemaninya selama proses pernikahan.

Begitu banyak pertanyaan di kepala saya. Asli. Saya pengin tahu, kenapa dia begitu mudahnya menerima lelaki itu. Ada apakah gerangan? Tentu suatu hal yang istimewa, hingga dia bisa memutuskan menikah secepat ini. Tapi sayang, saya sedang sibuk sekali waktu itu (sok sibuk sih aslinya). Saya tidak bisa membantunya mempersiapkan pernikahan.

Beberapa kali dia telepon saya untuk meminta pendapat tentang beberapa hal. Beberapa kali saya telepon dia untuk menanyakan perkembangan persiapan pernikahannya. That's all. Kita tenggelam dalam kesibukan masing-masing. Saya menggambil cuti sejak H-2 pernikahannya. Selama cuti itu, saya memutuskan untuk menginap di rumahnya.

Jam 11 malam H-1, kita baru bisa ngobrol hanya berdua. Hiruk pikuk persiapan akad nikah besok pagi, sungguh membelenggu kita. Padahal rencananya kita ingin ngobrol tentang banyak hal. Akhirnya, bisa juga kita ngobrol berdua. Ada banyak hal yang ingin saya tanyakan. Dia juga ingin bercerita banyak pada saya. Beberapa kali Mamanya mengetok pintu, meminta kita tidur.

“Aku gak bisa tidur.” Dia memandang saya dengan wajah memelas. Saya paham kondisinya saat ini.

“Lampunya dimatiin aja, biar dikira kita dah tidur.”

"Iya.. ya."

Dia mematikan lampu neon kamar dan menggantinya dengan lampu kamar yang temaram. Kita melanjutkan ngobrol sambil berbisik-bisik. Suatu hal yang sudah lama sekali tidak kita lakukan. Kita berbicara banyak hal, tentang masa lalu dan impian-impian kita. Wajah sumringahnya terlihat jelas dalam keremangan kamar. Memunculkan aura cinta yang menerangi kamar saat itu. Hingga akhirnya terlontar juga sebuah pertanyaan yang selama ini saya pendam: “Kenapa kamu memilih dia?”

Dia tersenyum simpul, lalu bangkit dari tidurnya sambil meraih HP di bawah bantalku. Perlahan dia membuka laci meja riasnya. Dengan bantuan nyala LCD HP, dia mengais lembaran kertas di dalamnya. Perlahan dia menutup laci kembali, lalu menyerahkan selembar amplop pada saya. Saya menerima HP dari tangannya. Amplop putih panjang dengan kop surat perusahaan tempat calon suaminya bekerja.

“Apaan sih?” Saya memandangnya tak mengerti. Eeh, dianya malah ngikik geli.

“Buka aja.” Sebuah kertas saya tarik keluar. Kertas polos ukuran A4, saya menebak warnanya pasti putih. Saya membaca satu kalimat di atas di deretan paling atas.

“Busyet dah nih orang.” Saya menggeleng-gelengkan kepala sambil menahan senyum. Sementara dia cuma ngikik melihat ekspresi saya. Saya memulai membacanya. Dan sampai saat ini pun saya masih hafal dengan kata-katanya. Begini isi surat itu:

Kepada Yth.
Calon istri saya,
calon ibu anak-anak saya,
calon anak Ibu saya dan
calon kakak buat adik-adik saya
di Tempat

Assalamu'alaikum Wr. Wb.

Mohon maaf kalau Anda tidak berkenan. Tapi saya mohon bacalah surat ini hingga akhir, baru kemudian silahkan dibuang atau dibakar. Tapi saya mohon, bacalah dulu sampai selesai.

Saya, yang bernama ...... menginginkan Anda ...... untuk menjadi istri saya. Saya bukan siapa-siapa. Saya hanya manusia biasa. Saat ini saya punya pekerjaan. Tapi saya tidak tahu apakah nanti saya akan tetap punya pekerjaan. Tapi yang pasti saya akan berusaha punya penghasilan untuk mencukupi kebutuhan istri dan anak-anakku kelak. Saya memang masih kontrak rumah. Dan saya tidak tahu apakah nanti akan ngontrak selamannya. Yang pasti, saya akan selalu berusaha agar istri dan anak-anak saya tidak kepanasan dan tidak kehujanan.

Saya hanyalah manusia biasa, yang punya banyak kelemahan dan beberapa kelebihan. Saya menginginkan Anda untuk mendampingi saya untuk menutupi kelemahan saya dan mengendalikan kelebihan saya. Saya hanya manusia biasa. Cinta saya juga biasa saja. Karena itu, saya menginginkan Anda mau membantu saya memupuk dan merawat cinta ini agar menjadi luar biasa. Saya tidak tahu, apakah kita nanti dapat bersama-sama sampai mati karena saya tidak tahu suratan jodoh saya. Yang pasti, saya akan berusaha sekuat tenaga menjadi suami dan ayah yang baik.

Kenapa saya memilih Anda? Sampai saat ini, saya tidak tahu kenapa saya memilih Anda. Saya sudah sholat istiqaroh berkali-kali, dan saya semakin mantap memilih Anda. Yang saya tahu, saya memilih Anda karena Allah. Dan yang pasti, saya menikah untuk menyempurnakan agama saya, juga sunnah Rasulullah.

Saya tidak berani menjanjikan apa-apa. Saya hanya berusaha sekuat mungkin menjadi lebih baik dari saat ini. Saya mohon, sholat istiqaroh dulu sebelum memberi jawaban pada saya. Saya kasih waktu minimal satu minggu, maksimal satu bulan. Semoga Allah ridho dengan jalan yang kita tempuh ini. Amin..

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

Saya memandang surat itu lama. Berkali-kali saya membacanya. Baru kali ini saya membaca surat 'lamaran' yang begitu indah. Sederhana, jujur dan realistis. Tanpa janji-janji gombal dan kata yang berbunga-bunga. Surat cinta minimalis, saya menyebutnya. Saya menatap sahabat di samping saya. Dia menatap saya dengan senyum tertahan.

“Kenapa kamu memilih dia?”

"Karena dia manusia biasa.” Dia menjawab mantap. “Dia sadar bahwa dia manusia biasa. Dia masih punya Allah yang mengatur hidupnya. Yang aku tahu, dia akan selalu berusaha tapi dia tidak menjanjikan apa-apa. Soalnya dia tidak tahu, apa yang akan terjadi pada kita di kemudian hari. Entah kenapa, Itu justru memberikan kenyamanan tersendiri buat aku.”

“Maksudnya?”

“Dunia ini fana. Apa yang kita punya hari ini belum tentu besok masih ada. Iya kan? Paling gak, aku tau bahwa dia gak bakal frustasi kalau suatu saat nanti kita jadi gembel. Hahaha..”

“Ssttt.” Saya membekap mulutnya. Kuatir ada yang tahu kalau kita belum tidur. Terdiam kita memasang telinga. Sunyi. Suara jengkrik terdengar nyaring di luar tembok. Kita saling berpandangan lalu cekikikan sambil menutup mulut masing-masing.

“Udah tidur. Besok kamu kucel, ntar aku yang dimarahin Mama.”

Kita kembali rebahan. Tapi mata ini tidak bisa terpejam. Percakapan kita tadi masih terngiang terus ditelinga saya.

“Gik...”

“Tidur.. Dah malam.”
Saya menjawab tanpa menoleh padanya. Saya ingin dia tidur agar dia terlihat cantik besok pagi. Kantuk saya hilang sudah, kayaknya gak bakalan tidur semaleman nih.

****

Satu lagi pelajaran pernikahan saya peroleh hari itu. Ketika manusia sadar dengan kemanusiannya, ia sadar bahwa ada hal lain yang mengatur segala kehidupannya. Begitu pun dengan sebuah pernikahan. Suratan jodoh sudah tergores sejak ruh ditiupkan dalam rahim. Tidak ada seorang pun yang tahu bagaimana dan berapa lama pernikahannya kelak. Lalu menjadikan proses menuju pernikahan bukanlah sebagai beban, tapi sebuah 'proses usaha'. Betapa indah bila proses menuju pernikahan mengabaikan harta, tahta dan 'nama'. Embel-embel predikat diri yang selama ini melekat ditanggalkan.

Ketika segala yang 'melekat' pada diri bukanlah dijadikan pertimbangan yang utama. Pernikahan hanya dilandasi karena Allah semata, diniatkan untuk ibadah, menyerahkan secara total pada Allah yang membuat skenarionya, maka semua menjadi indah. Hanya Allah yang mampu menggerakkan hati setiap umat-Nya. Hanya Allah yang mampu memudahkan segala urusan. Hanya Allah yang mampu menyegerakan sebuah pernikahan. Kita hanya bisa memohon keridhoan Allah, meminta-Nya mengucurkan barokah dalam sebuah pernikahan. Hanya Allah jua yang akan menjaga ketenangan dan kemantapan untuk menikah. Lalu, bagaimana dengan cinta? Ibu saya pernah bilang, “Cinta itu proses. Proses dari ada, menjadi hadir, lalu tumbuh, kemudian merawatnya agar cinta itu bisa bersemi dengan indah menaungi dua insan dalam pernikahan yang suci.”

Witing tresno jalaran garwo (sigaraning nyowo). Kalau diterjemahkan secara bebas: Cinta tumbuh karena suami/istri (belahan jiwa). Cinta paling halal dan suci. Cinta dua manusia biasa, yang berusaha menggabungkannya agar menjadi cinta yang luar biasa. Namun, sejak membaca cerita ini hingga blog ini kuposting, ada satu pertanyaan besar yang hinggap di kepalaku, yakni: “Seberapa banyak lagi wanita yang berpikiran seperti wanita dalam cerita di atas?”

Tuk para perempuan yang dah or mo nikah, ada pesan begini: "Pernikahan akan menginsyafkan untuk belajar meniti sabar karena memilih suami tak sehebat yang kau inginkan. Suamimu bukanlah searif Abu Bakar, seberani Umar bin Khattab, sekaya Usman bin Affan, apalagi segagah Ali bin Abi Thalib. Suamimu hanyalah suami akhir zaman yang akan memeliharamu dari azab Allah..." (n_n)